Tuesday, September 24, 2013

Browse » home» » » » » Kubah Masjid Berbentuk Bawang

Kubah Masjid Berbentuk Bawang


Kubah masjid berbentuk bawang pada masjid-masjid yang lazim kita temui di Indonesia sebenarnya bukan sebagai pembentuk bangunan, akan tetapi lebih cenderung sebagai penanda saja. Penanda an sich bahwa bangunan tersebut sebagai tempat bersujud. Namun, entah sejak kapan dan bagaimana sejarahnya hingga di masyarakat ada kesepakatan bahwa apapun bentuk bangunan masjidnya, atapnya “harus!” berkubah bawang. Tulisan ini hendak mengendus apa gerangan yang menjadikannya keharusan. Ataukah ini sudah tergurat erat di alam bawah sadar masyarakat kita, bahwa masjid tidak ‘afdhol’ kalau tidak berkubah bawang. Masjid yang dimaksud di sini adalah masjid komunitas/ kampung atau swadaya masyarakat, bukan milik perseorangan, badan usaha atau lembaga.
Pada pembangunan masjid baru, bentuk denahnya bujur sangkar dan keberadaan mihrab seolah wajib, karena alasan efisiensi jumlah dan barisan (shaf) jamaah. Tetapi keberadaan mihrab secara syar’i masih belum tuntas dibahas: apakah memang wajib atau tuntutan kebutuhan semata. Kecenderungan kebutuhan ruang yang luas menuntut ruangan harus bebas kolom. Hal ini berpengaruh pada pilihan sistem struktur dan bahan yang digunakan. Sistem struktur rangka beton dan baja saat ini populer diterapkan. Selain alasan kemudahan pada proses pemasangan (praktis), ketersediaan bahan ini sangat tercukupi (baik bentang maupun jumlahnya), berbeda halnya dengan kayu. Sekarang ini sangat jarang kayu digunakan sebagai struktur konstruksi masjid (kecuali atap), dengan pertimbangan harga yang relatif mahal dan waktu pengerjaan yang lama.
Beberapa modus operandi pembanguan masjid komunitas yang dilakukan adalah: pertama, rancangan masjid dimintakan bantuan kepada konsultan perancangan (arsitek, biro perancangan atau perguruan tinggi sebagai bentuk pengabdian masyarakat). Walaupun ada dialog antara perancang dan masyarakat tentang cita dan gagasan langgam dan citra masjid, tetapi jika sang perancang tak kuat berargumentasi tentang bentuk masjid, maka yang muncul adalah komentar warga: “mbok sampun mas, mboten usah aneh-aneh. Ingkang biasa mawon.” (sudah mas, tidak usah aneh-aneh, yang biasa saja). Akibatnya yang berlaku adalah bussines as unsual, atap kubah bawang is the best!
Kalaupun rancangan bentuk atap bisa menghindari kubah bawang, secara perlahan tapi pasti penandanya akan kembali ke kubah tersebut. Entah ditaruh di menara, di atap serambi atau ditempelkan begitu saja di atap masjid utama. Tak peduli apakah atapnya berbentuk tajug, limasan atau datar. “Kagem ilok-ilok mas, masjid kok mboten wonten kubahe,” (untuk pantas-pantas mas, masjid kok tidak ada kubahnya), begitu komentar mereka. Atap meru sudah tidak lagi mengesankan sebagai tempat suci.
Kedua, masyarakat membentuk tim kecil (tukang dan mandor) dan mengirimkannya ke masjid yang ingin ditiru, lalu tim kecil tersebut menggambar ulang (redraw) dan merekonstruksi masjid hasil survei (sama persis atau modifikasi) di kampungnya. Ketiga, masyarakat memanfaatkan bangunan wakaf atau kas desa untuk masjid, atau masyarakat berkeinginan untuk merenovasi surau atau musholla guna meningkatkan status menjadi masjid. Metode konstruksinya menggunakan sistem bertahap dan sirkileran (infaq-shodaqoh) dalam bentuk uang, bahan, atau tenaga.
Di beberapa daerah, donasi diwujudkan dalam bentuk bahan terpasang. Misalnya keramik, genteng atau mustaka. Seringkali mustaka atau hiasan didonasikan tanpa melihat padu padan dengan bentuk masjid secara keseluruhan. Dulunya mustaka hanya sebagai hiasan (nanasan) dan kubah sebagi pembentuk masjid. Sekarang makna mustaka menjadi bias, hanya diartikan sebagai kubah bawang sebagai hiasan. Barangkali ingin menyesuaikan dengan rambu lalu lintas di jalan yang menunjukkan keberadaan sebuah masjid. Bentuk persegi dengan latar putih, garis pinggir biru dan bergambar kubah masjid plus bulan dan bintang. Sebenarnya lebih dulu mana, rambu lalu lintas tersebut atau masjid yang ditandai?
Mungkin juga dampak dari industrialisasi. Begitu mudah dengan harga relatif murah mendapatkan kubah bawang berbahan aluminium atau seng dengan berbagai variasinya (ada yang bisa berputar bila terkena angin, plus ada lafadz Allah, bulan-bintang, bahkan bawang terbelah). Para donatur yang budiman (mungkin) telah merasa sah dan afdhol dengan sumbangan tersebut. Walaupun ikhlas, tetapi lebih baik lagi seandainya bantuan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan konsep masjid yang disepakati oleh jamaah.
Hal ini juga bisa dipandang sebagai budaya vernakular (budaya yang berkembang di masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat). Vernakularisasi kubah bawang pada masjid lebih menarik jika berakar dari budaya setempat dan bukan hanya sekedar hiasan. Tetapi mungkin juga, hiasan tersebut sudah cukup bermanfaat bagi masyarakat sekitar tadi. Paling tidak sebagai tanda bahwa masjid (atau lebih tepatnya masyarakat) disitu “merasa” selev
el dengan masjid biru (the Blue Mosque) atau bangunan Aya Sofia di Istanbul, Turki.
Bentuk atap masjid, saat ini pilihannya sudah terpaku pada atap kubah atau atap tajug (plus kubah bawang atau hiasan nanasan). Seolah hanya bentuk ini yang akan “diterima disisi-Nya”. Padahal, tak ada satu dalil pun di dalam Alqur’an maupun hadits Nabi yang mewajibkan langgam dan ekspresi bangunan harus merujuk pada hal tertentu. Bahkan ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Dan apabila sesuatu itu merupakan urusan duniamu, maka engkaulah yang lebih mengetahuinya (berhak menentukannya)”.
Masyarakatlah (mungkin dibantu desainer) yang paling berhak menentukan bentuk masjid tanpa harus terikat buta pada pemikiran tradisi dan budaya sebelumnya. Masyarakat seyogyanya memperjuangkan penentangan terhadap sikap `taqlid` (imitasi), yakni menerima tanpa memahami persoalan atau meniru dengan membabi-buta. Termasuk imitasi dalam dunia arsitektur, walaupun tidak diharamkan tetapi sangat disesalkan, sehingga pintu ijtihad untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru terkait dengan desain masjid harus selalu dibuka lebar-lebar.
Masyarakat (dan arsitek) harus selalu berijtihad dengan nalar dan nalurinya untuk menelorkan karya-karya yang mengandung novelty (unique-genuine/ unik dan orisinil) yang kreatif-inovatif sehingga menjadi karya budaya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat. Paling tidak, ada kreasi yang berbeda antara satu masjid di suatu tempat dengan yang lainnya (local genius), tetapi tidak waton (asal) beda.

Yulianto P Prihatmaji
Juru Terang Arsitektur
Universitas Islam Indonesia


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.